Fatkur
Aziz
Dila

Kamis, 24 Maret 2011

Peran Masjid dalam Pemberdayaan Zakat

PASCA Ramadhan, seperti biasanya, panitia zakat yang dibentuk di masjid-masjid berakhir seiring berakhirnya Ramadhan. Panitia zakat hanya bekerja secara musiman, sebab panitia hanya terbentuk dan bekerja hanya dalam kurun waktu tertentu saja, biasanya dari mulai pertengahan hingga akhir Ramadhan. Hal ini disebabkan panitia zakat yang terbentuk di masjid-masjid “hanya” diperuntukkan menerima zakat fitrah yang menjadi kewajiban setiap muslim dalam mengakhiri puasa Ramadhan. Walaupun dalam pelaksanaannya, panitia zakat yang ada di masjid juga menerima “segala jenis dana philantropis” lainnya, apakah yang disebut dengan zakat fitrah, zakat mal, fidyah puasa, infak, sedekah dan sebagainya.
Fenomena ini menunjukkan tidak berdayanya masjid dalam fungsi idealnya. Peran masjid sebagai pusat pemberdayaan umat, terutama pada bidang ekonomi kelihatan kerdil. Selain itu, sungguh, kondisi ini benar-benar tidak kondusif bagi sistem philanropis Islam yang idealnya mampu menggerakkan ekonomi umat menuju kesejahteraan, namun tak bisa disangkal, inilah kondisi ril peran masjid dan pengumpulan zakat kita saat ini.
Secara struktur bahwa sistem kelembagaan zakat di Indonesia masih sangat kacau. Dalam hal legalitas kepanitiaan zakat di masjid-masjid saja misalnya, panitia zakat hanya bersifat lokal dan tidak terkordinir secara baik, kepanitiaan zakat masjid biasanya hanya di “SK” kan oleh ketua Badan Kenaziran Masjid (BKM) bersangkutan. Memang tidaklah salah, namun kepanitiaan zakat yang bersifat sementara ini mengakibatkan beberapa hal yang justru mereduksi (baca: mengurangi) makna “amil” sebagaimana yang disebut dalam Al-Quran.
Pertama, kepanitiaan zakat yang terbentuk di masjid hanya bersifat lokalis sekaligus temporer (sementara). Panitia hanya bekerja dalam kurun waktu tertentu, jika dirata-ratakan, panitia hanya bekerja lima hingga sepuluh hari menjelang akhir Ramadhan. Kepanitiaan zakat “ala sementara” ini tentu mereduksi makna “amil” sebagai salah satu mustahak zakat.
Walaupun ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa tugas pengumpul zakat sementara “model sementara ini” juga dapat disebut ‘amil, namun dalam makna yang hakiki amil adalah orang atau sekelompok orang yang bertugas sebagai pengumpul zakat sekaligus mengelola zakat secara permanen sehingga “wajar” mereka mendapatkan sebagian dana zakat. Dalam kenyataannya, tidak sedikit masjid yang masih menganggap bahwa mereka adalah sebagai “amil” yang mendapatkan bagian dari uang atau beras zakat yang terkumpul itu.
Kedua, kepanitiaan zakat yang bersifat sementara dan tanpa terkordinasi menjadikan pemberian zakat secara merata dan proporsional telah terabaikan. Tidak hanya itu, pendistribusian zakat secara salah sasaran juga dapat sering terjadi akibat tidak terkordinirnya pemberian zakat antara satu masjid dengan masjid yang lain.
Salah satu contoh yang mudah disebutkan, dalam hal pemerataan, fakir dan miskin yang menjadi mustahik zakat kemungkinan banyak yang tidak mendapatkan harta zakat jika ia bertempat tinggal di daerah masjid yang sedikit dana zakatnya. Jikapun fakir miskin mendapatkan uang/beras zakat namun jumlahnya sangat terbatas. Selanjutnya, penyaluran zakat dapat terjadi kepada orang yang tidak mustahak atau tidak masuk kriteria fakir miskin, disebabkan sulitnya mendapatkan orang yang fakir dan miskin di daerah “kaya”. Jikapun terdapat orang miskin yang memperoleh dana/zakat, maka jumlahnya berbeda dan mungkin jauh berbeda dengan daerah yang masjid terpencil dan dana zakatnya kecil. Karena itulah, kepanitiaan zakat yang tidak terkordinasi menjadikan dana zakat tidak tersalurkan secara tepat sekaligus tidak merata.
Maka tidak mengherankaan jika kepanitiaan yang bersifat lokal biasanya akan “memaksakan” kriteria fakir miskin sebagai mustahak bagi masyarakat di sekitarnya saja. Walaupun telah ada masjid yang mengirimkan zakatnya ke luar daerah masjidnya untuk diberikan kepada golongan fakir atau miskin yang sebenarnya. Namun tidak sedikit masjid yang harus “memaksakan kriteria fakir-miskin” sebagai tempat penyaluran zakat. Padahal, di masjid di “kampung lain”, masih banyak terdapat fakir dan miskin yang masih terlantar tidak mendapatkan dana zakat. Intinya, kepanitian zakat yang bersifat lokalis dan tidak terkordinasi menyebabkan tidak meratanya “mengayakan para fakir dan miskin pada hari hara idul fitri”.
Ketiga, dalam konteks jangka panjang, kepanitiaan zakat yang bersifat lokal dan tidak terkordinasi menyebabkan sulitnya bagi kita untuk memetakan potensi zakat yang ada. Saat ini sulit bagi kita mengetahui berapa jumlah zakat yang terkumpul pada suatu daerah, apalagi untuk lingkup provinsi dan seterusnya. Jangankan untuk melakukan pemberdayaan ekonomi lewat zakat, berapa jumlah zakat atau potensi zakat saja kita sulit mengetahuinya. Padahal, potensi zakat mal sangat diharapkan dapat membantu memberdayakan ekonomi rakyat secara ril dengan upaya-upaya strategis.
Persoalan kelembagaan
Persoalan ini muncul akibat lemahnya kebijakan tentang kelembagaan zakat. Dalam regulasi zakat masih menyimpan persoalan yang cukup serius. Saat ini, pemerintah kembali merencana revisi UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Rencana revisi ini menyangkut tiga (3) hal, pertama, rencana ancaman hukuman bagi muzakki yang enggan mengeluarkan zakat. Kedua, zakat dapat mengurangi besarnya pajak serta yang ketiga, pengintegrasian (penyatuan) LAZ ke BAZ.
Namun yang lebih penting dari itu, bahwa pemerintah sebagai regulator sekaligus pelaksana belum mampu melakukan pengorganisasian zakat secara baik dan menyeluruh. Dalam hal pembentukan Badan Amil Zakat (BAZ) untuk tingkat kecamatan saja pemerintah belum mampu membentuknya secara menyeluruh. Padahal Badan Amil Zakat (BAZ) di tingkat kecamatanlah seyogyanya membentuk unit pengumpul zakat (UPZ) di tingkat bawahnya terutama pada masjid-masjid yang ada. Kondisi inilah yang menjadi akar persoalan hancurnya pengorganisasian zakat ditingkat yang paling bawah yang sangat menentukan itu.
Karenanya, selain melakukan grand design pemungutan dan penyaluran zakat secara tersistem dengan melakukan revisi UU Zakat yang sedang digodok di DPR terus dilakukan, pengorganisasian zakat ditingkat akar rumput (masjid-masjid dan kantor-kantor) perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Kementerian Agama tingkat kabupaten/kota mempunyai peran sentral dalam pembentukan BAZ ditingkat kecamatan-kecamatan. Jika BAZ di kecamatan saja tidak mampu dibentuk oleh pemerintah maka, UPZ-UPZ di tingkat masjid tidak terkordinasi dan berjalan sendiri-sendiri, belum lagi berbicara manajemen zakat dan segala persoalan yang muncul di tengah masyarakat.
Peran masjid dalam pemberdayaan zakat
Idealnya, masjid-masjid yang telah membentuk kepanitiaan zakat pada Ramadhan lalu tidaklah membubarkan diri seiring berlalunya Ramadhan. Namun, kepanitiaan zakat hendaknya melakukan pembenahan sekaligus penguatan organisasi yang berorientasi pada pengumpulan dan pemberdayaan dana zakat di daerah kawasan masjidnya masing-masing.
Sudah saatnya masjid-masjid mampu mendata para muzakki dan mustahik dikawasan sekitar masjidnya. Jika dikelola dengan manajemen yang baik, para muzakki tidak akan enggan membayar zakatnya secara periodi ke panitia masjid. Jika terdapat dana zakat mal yang diperoleh saat Ramadhan lalu, maka dapat dijadikan titik awal bagi masjid untuk melakukan pemberdayaan dana zakat bagi masyarakat miskin di sekitar.
Selanjutnya, masjid-masjid dapat melakukan pendataan para mustahik dan potensi usaha yang dapat dilakukan. Usaha atau pencarian usaha bagi fakir dan miskin dapat saja dengan memaksimalkan potensi jama’ah yang mempunyai kemampuan “mendampingi” usaha fakir miskin, bahkan jika perlu menggunakan konsultan bisnis sehingga usaha yang dilakukan fakir miskin dapat berhasil.
Walau konsep yang ditawarkan di atas bukanlah suatu pekerjaan mudah, namun mengapa tidak kita mulai dari sekarang? Paling tidak, pemberdayaan model ini dapat diprakarsai dan dimulai oleh masjid-masjid yang relatif “makmur” di masing-masing daerah. Idealnya, masjid bukanlah hanya mengurus imam, khatib dan perayaan hari besar Islam, serta melaporkan infak yang diperoleh setiap jum’atnya, namun lebih dari itu masjid juga mengurus jama’ah dan masyarakat di sekitarnya yang tergolong fakir-miskin. Menjadi kewajiban setiap masjid untuk membebaskan jama’ahnya dari kemiskinan dan kemelaratan. Jika tahun ini mereka masih menjadi mustahik zakat, insya Allah setahun atau dua tahun ke depan, mereka telah menjadi muzakki yang membayarkan zakat.
Sumber: WASPADA Online, Friday, 24 September 2010, oleh: MUSTAFA KAMAL ROKAN (Dosen Hukum Bisnis IAIN Sumatera Utara dan STIH Graha Kirana Medan)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Entri Populer


Buku Tamu

Salam Silaturahim DSM BADUNG