Fatkur
Aziz
Dila

Kamis, 24 Maret 2011

Zakat, Distribusi Kekayaan yang Adil

Pemerataan ekonomi dengan saling menyingsingkan lengan baju. Pemerataan ekonomi dengan saling menyingsingkan lengan baju. Ibnu Khaldun pernah mengemukakan, bahwa benda itu selalu beredar di antara penguasa dan rakyat. Ironisnya, negara yang menjadi pasar paling besar sehingga rakyat kehilangan sirkulasi kekayaan secara merata.
Karena itu, semangat zakat dalam Islam adalah berbagi kenikmatan, kebahagian, dan kekayaan antar manusia. Inilah yang disebut pemerataan pertumbuhan ekonomi bagi semua lapisan masyarakat. Bukan lagi pemusatan kekayaan di kalangan segelintir orang yang berkuasa dan memiliki modal.
Sudah menjadi fakta, bahwa kegiatan ekonomi sekarang telah melahirkan kesenjangan pendapatan yang semakin lebar dan makin besar. Misalnya, sebagaimana dikemukakan dalam Human Development Report 2006 yang diterbitkan oleh UNDP (United National Development Programme). Berdasarkan laporan tersebut, 10 persen kelompok kaya dunia menguasai 54 persen total kekayaan dunia. Sedangkan sisanya 90 persen masyarakat dunia mengusai 45 persen total kekayaan dunia (Beik, 2006).
Salah satu faktor utama yang menyebabkan besarnya kesenjangan pendapatan tersebut adalah karena ketiadaan mekanisme distribusi kekayaan yang mencerminkan prinsip keadilan dan keseimbangan, sehingga kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir kelompok. Padahal, Allah SWT sangat menentang perputaran harta di tangan kelompok elit masyarakat saja, sebagaimana yang dinyatakanNya dalam QS Al Hasyr: 7: “…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…”
Konsep utamanya ada niatan mau berbagi kepada kaum fakir miskin. Konsep utamanya ada niatan mau berbagi kepada kaum fakir miskin. Dalam ajaran Islam, salah satu mekanisme distribusi pendapatan dan kekayaan ini adalah melalui instrumen zakat, infak dan sedekah (ZIS). Rasulullah SAW, dalam sebuah hadits riwayat Imam Al-Ashbahani dari Imam Thabrani, menyatakan: “Sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan atas hartawan muslim suatu kewajiban zakat yang dapat menanggulangi kemiskinan. Tidaklah mungkin zakat terjadi seorang fakir menderita kelaparan atau kekurangan pakaian, kecuali oleh sebab kebakhilan yang ada pada hartawan muslim. Ingatlah, Allah SWT akan melakukan perhitungan yang teliti dan meminta pertanggungjawaban mereka dan selanjutnya akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih”. (HR. Thabrani dalam Al Ausath dan Ash Shoghir).
Hadits tersebut memberikan dua isyarat. Pertama, kemiskinan bukanlah semata-mata disebabkan oleh kemalasan untuk bekerja (kemiskinan kultural), akan tetapi juga akibat dari pola kehidupan yang tidak adil (kemiskinan struktural) dan merosotnya kesetiakawanan sosial, terutama antara kelompok kaya dan kelompok miskin.
Rasa kebersamaan muncul ketika kita mampu memahami penderitaan orang lain dengan cara menjelmakan penderitaan itu ke dalam diri kita. Rasa kebersamaan muncul ketika kita mampu memahami penderitaan orang lain dengan cara menjelmakan penderitaan itu ke dalam diri kita. Lapoe dan Colin (1978) serta George (1981) menyatakan bahwa penyebab utama kemiskinan adalah ketimpangan sosial ekonomi akibat adanya sekelompok kecil orang-orang yang hidup mewah di atas penderitaan orang banyak, dan bukannya disebabkan oleh semata-mata kelebihan jumlah penduduk (over population).

Kedua, jika zakat, infak, dan sedekah dapat dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan dikelola dengan baik, apakah dalam aspek pengumpulan ataupun dalam aspek pendistribusian, kemiskinan dan kefakiran ini akan dapat ditanggulangi, paling tidak dapat diperkecil (Hafidhudin, 1998). Dalam Al-Quran dan Hadits, zakat, infak dan sedekah di samping sering digandengkan dengan shalat, juga digandengkan dengan kegiatan riba, misalnya dalam QS Ar-Rum: 39 dan QS Al-Baqarah: 276. Hal ini mengisyaratkan bahwa optimalisasi ZIS akan memperkecil kegiatan ekonomi yang bersifat ribawi.
Inilah tantangan kita agar zakat menjadi institusi strategis bagi penciptaan sistem ekonomi yang adil dan bertanggung jawab , bukan sekedar pemberian untuk menghibur. Dengan demikian, zakat berfungsi lebih luas, bukan sekedar menyucikan harga, jiwa, atau menghibur orang miskin, tetapi mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat berbasis keadilan. Dalam bahasa Monzer Kahf (1995) disebut distribusi harga yang egaliter. Inilah yang menjadi inti ajaran zakat dalam dimensi Islam secara sosial.
Sumber: tnol.co.id, oleh: Iskandar Bakrie, Rabu, 10 Maret 2010

0 komentar:

Posting Komentar

 

Entri Populer


Buku Tamu

Salam Silaturahim DSM BADUNG